Dari beberapa tema postingan yang ada di pikiranku, aku lebih memilih judul ini. Rasanya cukup kekinian dan menarik. Kenapa? Karena masih relevan dengan berbagai isu terkait kurikulum terbaru. Bahkan dimungkinkan tema ini sangat dinamis dan fleksibel, sesuai perkembangan jaman.
Selama ini orang lebih banyak mendiskusikan inovasi dalam pembelajaran, dan sedikit saja yang membahas inovasi dalam penilaian. Padahal kenyataannya pembelajaran dan penilaian itu sepaket. Jika ingin pembelajaran yang menarik dan bervariasi maka demikian halnya dalam penilaian. Saat ini istilah penilaian bergeser menjadi Asesmen.
Ada sedikit perubahan makna ataupun fungsi terkait perubahan tersebut. Menurut yang aku baca dari berbagai sumber, penilaian itu memiliki dua fungsi utama yaitu memperbaiki proses pembalajaran dan mengetahui pencapaian hasil belajar siswa. Olehnya istilah tersebut bergeser menjadi asesmen. Untuk keperluan tulisanku saat ini aku tetap mempertahankan istilah penilaian…(boleh ya…hehe), namun di beberapa bagian aku juga akan menggunakan istilah asesmen kok…tenang pembaca😊✌.
Menurut opini pribadiku, fungsi penilaian saat ini sudah sangat baik, karena penilaian tidak sekedar melihat hasil pencapaian belajar siswa semata namun juga berfungsi untuk memperbaiki proses belajar. Hal ini sangat penting agar seorang guru mampu memperbaiki proses belajarnya. Sudah jadi rahasia umum dikalangan guru bahwa terkadang guru sedikit egois untuk tidak merefleksi dan memperbaiki cara mengajarnya. Meskipun cara itu sudah usang namun tetap dipertahankan. Berdasarkan pengalaman pribadi ku juga. Jadi menurutku penilaian juga mempunyai dua peran dilihat dari sisi internal dan eksternal. Internal bermakna dalam proses pembelajaran itu sendiri. Sedangkan eksternal bermakna pelaporan hasil belajar siswa.
Umumnya yang membutuhkan penilaian secara eksternal adalah orang tua siswa dan atau lembaga pendidikan setingkat yang lebih tinggi dari yang sedang ditempuh oleh siswa untuk keperluan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Olehnya penilaian harus didesain seobyektif mungkin agar hasil belajar siswa benar-benar representatif sesuai kompetensi siswa. Lalu bagaimana penilaian yang inovatif? Menurutku selama ini para guru hanya menilai siswa berdasarkan dengan melakukan tes tertulis. Bahkan tes tertulis ini pun hanya terbatas dengan bentuk soal uraian atau pilihan ganda. Model soal yang digunakan pun bersifat text book dan abai dengan kemampuan menganalisis atau berpikir tingkat tinggi.
Baru sekitar enam tahun terakhir dimunculkan model soal HOTS (High Order Thingking Skills), sehingga soal membutuhkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Seiring munculnya AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) model soal pun bergeser dan berkembang menjadi soal-soal HOTS yang berbasis Literasi dan Numerasi. Berlanjut dengan kebijakan merdeka belajar dan diluncurkannya Kurikulum Merdeka, model pembelajaran pun bergeser ke pembelajaran berbasis projek yang tentu saja membutuhkan bentuk penilaian tersendiri. Inilah bentuk penilaian yang membutuhkan kreativitas dari para guru. Karena pembelajaran berbasis projek tidaklah sama. Baik dari produk yang dihasilkan maupun proses yang dialami oleh siswa akan berbeda. Sehingga guru harus benar-benar mendesain bentuk penilaian yang obyektif meskipun sederhana. Bahkan dimungkinkan jika pembelajarannya beriferensiasi maka penilaiannya pun berdiferensiasi. Jadi guru tidak sekedar memberikan penilaian hasil belajar siswa berdasarkan tes tertulis saja melainkan penilaian yang holistik dan kontekstual didukung dengan proses belajar siswa selama periode penilaian. Inilah yang sebenarnya inovasi dalam penilaian.
Kendari, 080423